Senin, 07 September 2009

Pemikiran Ekonomi Islam

Centre for Islamic Law and Political Studies

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

(Kajian Terhadap Sistem Perekonomian Khulafa al-Rasyidin)

By : Muhemmad[1]

Prawacana

Islam sebagai suatu agama yang di dasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, merupakan suatu agama yang memberikan tuntunan tidak saja yang berhubungan secara vertical dengan Tuhan, lebih dari itu Islam juga memberikan tuntunan pada seluruh aspek kehidupan. Islam mengartikan agama juga tidak saja berkaitan dengan spritualitas maupun ritualitas, namun Islam merupakan serangkaian keyakinan, ketentuan, dan aturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia. Dan lebih dari itu, Islam memandang agama sebagai sarana kehidupan –the way of life- yang melekat pada setiap aktivitas kehidupan, baik ketika manusia berhubungan ritual dengan Tuhan maupun berinteraksi dengan sesama manusia.

Islam memandang keseluruhan aktivitas manusia di bumi ini sebagai sunnatullah, termasuk didalamnya aktivitas ekonomi, Ia menempatkan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendapatkan kemuliaan, dan kerenanya kegiatan ekonomi –seperti kegiatan lainnya- perlu dikontrol dan dituntun agar sejalan dengan tujuan syari’at. Islam memberikan tuntunan bagaimana seharusnya beribadah kepada Tuhan –ibadah mahdhah- serta bagaimana juga berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat –mua’malah-, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bernegara, berekonomi, dan sebagainya.

Sebagai agama universal, Islam memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan manusia, maka termasuk bagaimana manusia mempertahankan hidupnya, Islam juga telah memberikan tuntunan berekononomi secara Islami. Banyak contoh yang diajarkan dalam masalah ekonomi, baik pada masa-masa awal Islam diturunkan hingga menjelang wafatnya Rasulullah saw, yang dapat dijadikan acuan atau paling tidak sebagai perbandingan bagaimana Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap kesejahteraan ummatnya tidak saja d iakhirat tapi juga di dunia.

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun hanya akan menyampaikan sejarah pemikiran ekonomi Islam khususnya pada masa Khulafa al-Rasyidin, penyusun mengira bahwa ini perlu mengingat adanya anggapan bahwa ekonomi Islam tidak lain hanyalah derivasi dari ekonomi kapitalis. Dengan memberikan fakta sejarah penyusun berharap paling tidak dapat mengungkap autentikasi ekonomi Islam. Berdasarkan sifat kajiannya maka penulisan ini pure menggunakan metode deskriptif serta kajian pustaka. Sedangkan dalam tehnik pengumpulan datanya adalah dilakukan dengan cara menelaah sejumlah bahan referensi, baik kitab juga buku yang relevan dengan pembahasan.

Pemikiran Ekonomi Islam:

Sebagai sebuah kajian ilmu pengetahuan modern, ekonomi Islam baru muncul pada era tujuh-puluhan, namun pemikiran tentang ekonomi Islam sendiri sudah ada bersamaan diturunkannya Islam melalui Nabi Muhammad saw, yang kemudian dilanjutkan oleh sahabat-sahabat yang masyhur di sebut dengan Khulafa al-Rasyidin dibawah ini profil dan pemikiran-pemikiran mereka ;

a. Abu Bakar al-Shiddiq (51 SH-13 H/537-634 M)

Nama lengkapnya adalah Abdullah Ibn Abu Quhafah al-Tamimi, khalifah pertama dari Khulafa al-Rasyidin, sahabat terdekat Nabi saw, dan salah seoarang yang pertama masuk Islam -al-sabiqun al-awwalun-.[2]

Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan dalam negeri, dimana saat itu harus berhadapan dengan kelompok murtad, pembangkang zakat, dan nabi palsu. Yang berakhir dengan keputusan untuk berperang yang kemudian dikenal dengan perang riddah –perang melawan kemurtadan-.[3] Kemudian setelah menyelasaikan persoalan tersebut, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia.[4]

Dalam masalah perekonomian Abu Bakar tidak banyak melakukan perubahan, Ia meneruskan sistem perekonomian yang telah di bangun Nabi seperti membangun kembali Bait al-Mal, melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan serta mengambil alih tanah orang murtad untuk dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam.[5] Selanjutya dalam mendistribusikan harta Bait al-Mal Abu bakar menerapkan prinsip kesamarataan yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat dan tidak membeda-bedakan antara sahabat, antara budak dan orang merdeka, bahkan antara pria dan wanita. Sehingga harta Bait al-Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikannya, Abu Bakar juga mempelopori adanya sistem penggajian bagi aparat negara. [6]

b. Umar Ibn Khattab (40 SH-23 H/584-644 M)

Umar Ibn Khattab merupakan khalifah Islam kedua, Ia menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifati Rasulullah –pengganti dan pengganti Rasulullah-, kemudian Ia juga yang memperkenalkan istilah Amir al-Mukminin -komandan Orang-orang beriman-.[7] pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun Ia banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan romawi seperti Syria, Palestina, dan Mesir, serta seluruh wilayah kerajaan Persia. Atas prestasi inilah orang barat menjulukinya sebagai the Saint Paul of Islam.[8]

Dalam masalah perekonomian Umar Ibn Khattab dipandang banyak melakukan inovasi, hal ini bisa dilihat dari beberapa pemikiran dan gagasannya yang mampu mengangkat citra Islam pada masanya. Dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam Umar mulai memberlakukan administrasi negara juga membentuk jawatan kepolisian serta tenaga kerja.[9] Dalam bidang pertanian Umar mengambil langkah-langkah penting, misalnya. Ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat dengan syarat mampu menggarapnya, membuat saluran irigasi, serta mendirikan lembaga yang khusus untuk mendukung programnya tersebut.[10] Sedangkan dalam bidang perdagangan Umar juga menyempurnakan hukum perdagangan yang mengatur tentang pajak, dan mendirikan pasar-pasar yang bertujuan untuk mengerakkan roda perekonomian rakyat.[11]

Selain hal tersebut, Umar juga menjadikan Bait al-Mal yang memang sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya menjadi reguler dan permanent, kemudian dibangun cabang-cabang di ibu kota provinsi. Berbeda dengan Abu Bakar, Umar dalam mendistribusikan harta Bait al Mal menerapkan prinsip keutamaan. Selain itu Umar juga mendirikan Dewan yakni sebuah kantor yang betugas memberikan tunjangan bagi angkatan perang, pensiunan, serta tunjangan lain. Disamping itu Umar juga mendirikan lembaga survey yang dikenal dengan Nassab yang bertugas melakukan sensus terhadap penduduk Madinah.[12] Selain itu, Umar juga memperkenalkan system jaga malam dan patroli serta mendirikan dan mensubsidi sekolah dan masjid.[13]

c. Ustman Ibn Affan (47 SH- 35 H/577-656 M)

Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Usman Ibn Affan berhasil memperluas kekuasan Islam sampai kewilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, serta Tabaristan. Selain itu Ia juga berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah Khurasan dan Iskandariah.[14]

Pada enam tahun awal kekuasaanya, Ustman lebih terkonsentrasi melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan khalifah sebelumnya. Hal ini paling tidak didasari atas semakin luasnya kekuasaan Islam, dengan kata lain bahwa sumber pemasukan negara dari berbagai unsur seperti zakat, jizyah, dan ghanimah semakin besar.[15] Dalam mengembangkan sumber daya alam, Ustman melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan, serta pembentukan organisasi kepolisian secara permanent guna mengamankan jalur perdagangan.[16]

Selain itu, Ustman juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di masjid untuk fakir miskin dan musafir.[17] Selama pemerintahannya Ustman juga melakukan perubahan administrasi tingkat atas dan mengganti beberapa gubernur, dalam pengelolaan tanah negara Ustman menerapkan kebijakan membagi-bagikannya kepada individu-individu.[18] Sedangkan dalam pendistribusian harta Bait al-mal Ustman menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya yang dilakukan Umar.

Memasuki enam tahun kedua pemerintahannya, tidak terdapat perubahan mendasar dalam bidang perekonomian, hal ini lebih disebabkan karena mulai banyaknya kekecewaan kaum muslimin yang ditimbulkan oleh kebijakan Ustman sendiri yang dianggap banyak menguntungkan keluarga Khalifah.

d. Ali Ibn Abi Thalib (23 SH-40 H/600-661 M)

Khalifah keempat ini mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang sangat luas, namun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa Ia dengan mudahnya menjalankan roda pemerintahan, sebab Ali juga mewarisi persoalan politik yang sangat berpotensi menciptakan konflik dari pemerintahan sebelumnya.

Khalifah yang terkenal sangat sederhana ini, tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan system perekonomian, hal ini disebabkan banyaknya konflik yang terjadi pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama enam tahun. Terbunuhnya Khalifah Ustman menjadi isu sentral merebaknya konflik-konflik tersebut. Namun demikian patut dicatat bahwa dalam mengelola perekonomian Ia sangat berhati-hati terlebih dalam membelanjakan keuangan negara. Bahkan diriwayatkan juga Ali menarik diri dari daftar penerima gaji dan bahkan menyumbang sebesar 5000 Dirham setiap tahunnya. Dalam masalah perekonomian satu hal yang sangat monumental dari pemerintahan Ali adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam.[19][20]

Selain itu Ali juga membentuk kepolisian secara resmi yang disebut syurthah, sedangkan dalam mendistribusikan harta Bait al-Mal Ali mengeluarkannya semua tanpa ada cadangan dengan prinsip pemerataan distribusi uang rakyat.

Post-Wacana

Sejarah pemikiran ekonomi Islam berawal sejak al-Qur’an dan Hadits ada, yaitu pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw pada abad ke-7 Masehi. Pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada masa berikutnya pada dasarnya berusaha untuk mengembangkan konsep-konsep Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Tentu, dengan tetap bersandar pada al-Qur’an dan Hadits.

Demikianlah makalah sederhana ini penyusun sampaikan, jujur, ditengah kekosongan teori tentang ekonomi Islam penyusun tetap berusaha menyajikannya supaya tetap layak disebut sebagai karya ilmiah. Namun demikian penyusun tetap saja berharap pada masukan konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini, selain untuk menambah keutuhan penyusun dalam memahami teori ekonomi Islam –yang memang kosong- dan menyelesaikan tugas kuliah, tentu juga hasilnya dapat nilai plus.



[1] . Pegiat pada Centre for Islamic Law and Political Studies [CILAPS], Post Graduate IAIN ar-Raniry Banda Aceh NAD

[2] . Azyumardi Azra, dkk. Ensiklopedi Islam, (Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta : tt), jilid. I. hal. 53

[3] . Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1994), hal. 36

[4]. Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Rajawali Press, Jakarta : 2006), hal.54-55

[5] . Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Dhana Bakti Wakaf, Jogyakarta : 1995), hal. 320

[6] . Ibid. Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam…………, hal. 324

[7]. Ibid. Azyumardi Azra, dkk. Ensiklopedi Islam …….,Jilid. 7 hal. 175. lihat juga dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam……., hal. 37

[8] . Tulisan ini diambil dari, M. A Sabzwari, Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rasyida, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, Karachi, Vol. 2 No. 4, 1985, hal. 50. yang di nukil juga oleh Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran………., hal. 58

[9] . lihat dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam……., hal. 37-38

[10] . Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam, (Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008), hal. 102

[11] . lihat dalam Ibid Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam…, hal. 102, serta dalam Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran………., hal. 70-71

[12] . Ibid Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam…, hal. 103

[13] . Ibid. Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran………., hal. 77

[14] . Ahmad Sya’labi, Sejarah dan kebudayaan Islam, (Pustaka Al-Husna, Jakarta : 1994), hal. 270

[15] . Ibid Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam…, hal. 104

[16] . Ibid. Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran………., hal. 80-81

[17] . Ibid. Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran………., hal. 80

[18]. Lebih jelasnya lihat dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam……., hal. 45

[19] . Ibid Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam…, hal. 104

[20]. Ibid. Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran………., hal. 80

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Dhana Bakti Wakaf, Jogyakarta : 1995

Azra,Azyumardi dkk. Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta : tt

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1994

Karim,Adimarwan Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Rajawali Press, Jakarta : 2006

M. A Sabzwari, Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rasyida, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, Karachi, Vol. 2 No. 4, 1985

Tim Penulis P3EI UII Jogyakarta, Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008

Sya’labi, Ahmad, Sejarah dan kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta : 1994

Rabu, 02 September 2009

Pernikahan Beda Agama

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 221

TENTANG PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM[1]

DISADUR OLEH SAIFULLAH M. YUNUS[2]

1. ASBABUN NUZUL:

Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi dari Muqatil ia berkata:”ayat ini turun kepada Mirtsad bin Abi Mirtsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk menikah dengan ‘Anaq seorang wanita cantik musyrik di Mekkah.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Mirtsad bin Abi Mirtsad al-Ghanawi ke Mekkah untuk menyelamatkan sekelompok kaum muslimin di sana, dia suka kepada seorang perempuan jahiliyah yang bernama ‘Anaq, maka ‘Anaq menemui Mirtsad seraya berkata:”maukah kamu bermesum? Mirtsad menjawab:”celaka engkau, Islam telah memisahkan di antara kita, lalu perempuan itu berkata:”maukah engkau menikahiku? Ia menjawab:” ya, tetapi aku Tanya dulu kepada Rasulullah SAW, maka ketika ia menanyakannya kepada beliau turunlah ayat ini”.

Al-Wahidi meriwayatkan dari jalur Suddi dari Abu Malik bin Abbas berkata:”ayat ini turun kepada Abdullah bin Rawahah yang memiliki seorang budak hitam, suau ketika ia marah pada padanya dan menamparnya, lalu ia kaget sehingga menemui Rasulullah dan memberitahukannya seraya berkata:”sungguh akan aku merdekakan dan aku nikahi dia, lalu ia menikahinya. Ketika itu banyak orang mengejeknya dengan berkata:”ia menikah budak?!, maka Allah menurunkan ayat ini. Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan hadits ini munqathi’ dari Suddi.

2. TERJEMAHAN AYAT

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah: 221)

3. DEFINISI

Ahlu kitab : pemeluk agama Yahudi dan Nasrani walaupun sudah menyimpang dari kemurniaan ajarannya, contohnya mereka telah meyakini Isa sebagai Tuhan.

Musyrik : orang yang tidak memiliki kitab suci, ada juga yang mengatakan musyrik adalah orang kafir.

4. PENJELASAN

perbedaan antara wanita musyrik dengan wanita ahlu kitab adalah wanita musyrik tidak pernah beriman kepada suatu agama sedangkan wanita ahlu kitab sama dengan seorang muslim yang telah pernah beriman kepada Allah, Akhirat, halal haram, kewajiban mengerjakan amalan kebaikan dan menghindari dari keburukan.

Wanita ahlu kitab dikecualikan dari hukum haram menikah dengan orang kafir secara umum.

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh menikah dengan orang kafir maupun musyrik kecuali wanita ahlu kitab namun menikah dengan wanita ahlu kitab itu makruh.

Ahlu kitab adalah musyrik juga karena diriwayatkan dari Ibnu Umar dalam kitab al-muwattha’ : aku tidak mengetahui syirik yang lebih parah daripada seorang wanita yang berkata :”Tuhannya Isa”. Ibnu Abbas berkata:”ayat 221 di atas adalah umum mencakup penyembah patung, Majusi dan ahlu kitab dan setiap orang non muslim, menurutnya ayat 221 itu menasikh al-Maidah : 5, dan diriwayatkan dari Umar bin Khatthab bahwa ahlu kitab juga haram dinikahi. (halaman 294).

.

5. METODE MENERANGKAN

Kitab tafsir “Al-Munir” karangan Wahbah Zuhaili ini menggunakan metode penafsiran ayat dengan merujuk kepada riwayat, baik hadits maupun qaulus sahabi.

6. KESIMPULAN:

1. Haramnya menikah dengan orang musyrik.

2. Boleh menikah dengan wanita ahlu kitab yaitu dari agama Yahudi dan Nasrani

3. Riwayat yang benar bahwa Umar bin Khatthab membolehkan menikah dengan wanita ahlu kitab namun umar memakruhkan wanita ahlu kitab baik Yahudi maupun Nasrani bagi Thalhah dan Hudzaifah karena antisipasi agar kaum muslimin saat itu tidak menirunya dan merasa cukup dengan wanita muslimah yang ada.

4. Pembolehan nikah dengan wanita ahlu kitab adalah pengecualian dari hukum umum.

5. Ibnu Abbas berkata bahwa ahlu kitab harbi tidak halal dinikahi.

6. Lebih baik menghindari dari menikah dengan wanita ahlu kitab karena jarang di antara mereka yang kemudian memeluk Islam namun malah mengajak anak-anaknya kepada agamanya atau mengajari dan membimbing mereka dengan bimbingan agamanya.[3]

7. KEKURANGAN:

Kitab tafsir Al-Munir tidak menyebut munasabah ayat antara al-Baqarah ayat 221 dengan Al-Maidah ayat 5, tapi hanya menyebutkan bahwa surah Al-Maidah ayat 5 membolehkan menikah dengan ahlu kitab sehingga ahlu kitab keluar dari keumuman larangan menikah dengan orang-orang musyrik yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 221, kitab ini tidak menjelaskan ayat mana yang lebih awal turun dan bagaimana kondisi ahlu kitab sebenarnya saat kedua ayat itu turun, berapa selisih waktu antara keduanya dan bagaimana Rasulullah dan para sahabat memperlakukan ahlu kitab sebelum turunnya al-maidah : 5.

Hal ini penting agar kita mengetahui pandangan Rasulullah saw dan para sahabat apakah ahlu kitab itu musyrik atau bukan, dengan mengetahui status akidah mereka maka kita dapat menghubungkan hukumnya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) yang hidup di masa sekarang.



[1] Kitab tafsir al-munir karangan prof. dr. wahbah zuhaili dosen fakultas fiqh islam dan mazhab mazhabnya universitas damaskus, suriah

[2] Pegiat Pada Center for Islamic Law and Political Studies

[3] . Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Damaskus, Darul Fikr, Jilid 2, Hal. 289-296.

Selasa, 01 September 2009

Periodisasi....

PERIODISASI PERKEMBANGAN FIQH

Kamil Syafruddin*

I. Pendahuluan.

Terdapat dua dimensi dalam memahami hukum Islam. Pertama, hukum islam berdimensi ilahiyah yang kita yakini bersumber dari Allah SWT. Dalam dimensi ini kita meyakini bahwasanya hukum Islam adalah ajaran yang suci. Dalam pengertian seperti ini hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang cakupannya sangat luas, bukan hanya masalah hukum tapi juga segala permasalahan yang ada baik teologi, hukum dan akhlak. Kedua, hukum Islam berdimensi Insaniyah. Dalam dimensi ini, hukum Islam merupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami ajaran yang dinilai suci. Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai hasil pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal dengan Ijtihad.

Fiqh sebagai hasil pemikiran tidaklah bersifat statis, karena kebutuhan manusia adalah sesuatu yang tak terbatas, dan Fiqh juga harus terus berkembang guna memenuhi kebutuhan manusia.

Hal ini bisa kita lihat melalui perkembangan istilah fiqh sendiri yang pada masa awal islam dipakai sebagai istilah yang mencakup semua aspek permasalahan agama akhirnya menjadi satu disiplin ilmu yang khusus membahas tentang hukum ‘amali.

Fiqh Islam seperti yang kita kenal sekarang sebagai satu disiplin ilmu yang eksklusif dalam permasalahan hukum tidaklah muncul sekaligus tapi Fiqh islam berkembang secara bertahap sampai menjadi satu disiplin ilmu yang khusus.

II. Pembahasan.

Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa zaman lampau yang dipelajari secara kronologis.[1] Dengan kata lain, sejarah fiqh islam adalah tarikh tasyri’ Islam yang pada hakikatnya tumbuh dan berkembang pada masa Nabi sendiri, Karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.[2]

Para Ulama yang memperhatikan sejarah perkembangan fiqh berbeda-beda pendapat dalam membagikan dan menentukan periodisasi sejarah perkembangan fiqh. Diantara para muarrikh fiqh islam yang menentukan periodisasi sejarah perkembangan fiqh adalah Muhammad ‘Ali al-Sayyis, Muhammad Khudlari Bik, ‘Abdul Wahab al-Khallaf, Musthafa Sa’id al-Khinn, ‘Umar Sulaiman al-Asyqar dan T.M. Hasbi al-Shiddiqi. Berikut ini adalah periodisasi perkembangan hukum islam (fiqh) menurut para ahli sejarah fiqh islam yang penulis kutip dari buku Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam yang ditulis oleh DR. Jaih Mubarak.

Muhammad ‘Ali al-Sayyis berpendapat bahwa periodisasi perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut:

  1. Hukum Islam zaman Rasulullah.
  2. Hukum Islam zaman Khulafa al-Rasyidin.
  3. Hukum Islam zaman pasca Khulafa al-Rasyidin hingga awal abad II H.
  4. Hukum Islam zaman awal abad II H, hingga pertengahan abad IV H.
  5. Hukum Islam zaman pertengahan abad IV H hingga Bagdad hancur.
  6. Hukum Islam sejak zaman kehancuran Bagdad hingga kini.

Menurut Khudlari Bik periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:

  1. Hukum Islam zaman Rasullah SAW.
  2. Hukum Islam zaman sahabat besar.
  3. Hukum Islam zaman sahabat kecil.
  4. Hukum Islam zaman fikih menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
  5. Hukum Islam zaman perdebatan untuk membela imam masing-masing.
  6. Hukum Islam zaman taqlid.

Menurut Abdul Wahab Khallaf ada empat periode yaitu :

  1. Hukum Islam zaman Rasulullah SAW.
  2. Hukum Islam zaman sahabat.
  3. Hukum Islam zaman imam pendiri mazhab.
  4. Hukum Islam zaman stasis (jumud).

Menurut Sa’id al-Khinn berpendapat bahwa periodesasi hukum Islam adalah sebagai berikut :

  1. Hukum Islam zaman Rasul.
  2. Hukum Islam zaman sahabat.
  3. Hukum Islam zaman tabi’in.
  4. Hukum Islam zaman taklid.
  5. Hukum Islam zaman sekarang.

Menurut umar sualiman al-Asyqar sebagai berikut :

  1. Hukum Islam zaman Rasul.
  2. Hukum Islam zaman sahabat.
  3. Hukum Islam zaman tabi’in.
  4. Hukum Islam zaman pendiri mazhab.
  5. Hukum Islam zaman statis.
  6. Hukum Islam zaman sekarang.

Menurut T.M Hasbi al- Shiddiqi yaitu :

  1. Hukum Islam zaman pertumbuhan.
  2. Hukum Islam zaman sahabat dan tabi’in.
  3. Hukum Islam zaman kesempurnaan.
  4. Hukum Islam zaman kemunduran.
  5. Hukum Islam zaman kebangkitan.

Menurut Subhi Mahmashshani, dosen sistem Hukum arab pada universitas Amerika Beirut, menetapkan periodisasi hukum Islam sebagai berikut :

  1. Hukum Islam zaman Nabi Muhammad SAW.
  2. Hukum Islam zaman al-Khulafa al-Rasyidun dan Umawiyun.
  3. Hukum Islam zaman kemunduran dan taklid.
  4. Hukum Islam zaman kebangkitan.

Menurut Fathi Utsman adalah sebagai berikut :

  1. Hukum Islam zaman Nabi SAW.
  2. Hukum Islam zaman Khullafa Rasydin sampai penyusunan kitab-kitab fiqh.
  3. Hukum Islam zaman penyusunan kitab-kitab fiqh hingga sekarang.

Setelah kita melihat periodisasi yang dibuat oleh para muarrikh fiqh, kita bisa menyederhanakan kepada beberapa periodisasi perkembangan fiqh sebagai berikut :

  1. Fiqh pada masa Rasulullah ( Periode Risalah ).
  2. Fiqh pada masa Khulafa al-Rasyidin.
  3. Fiqh pada masa Tabi’in hingga lahirnya Mazhab fiqh.
  4. Fiqh pada masa jumud.
  5. Fiqh setelah masa jumud hingga sekarang.
  1. Fiqh pada Zaman Rasulullah SAW ( Dari Bi’tsah – 11 H / 610 – 632 H ).

Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.

Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.

Fiqh pada masa Rasulullah SAW adalah fiqh waqi’ ‘amali, artinya: hukum dibahas setelah terjadinya suatu kejadian ( mencari hukum setelah kejadian ). Istilah fiqh dipakai untuk segala sesuatu yang dipahami dari nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah baik mengenai persoalan ‘aqidah, akhlak, ataupun hukum.[3] Jadi, Fiqh pada masa ini bersifat praktek dan bukan teori, dimana para sahabat meminta fatwa ( يستفتونك ) dan bertanya ( يسألونك ) tentang hukum setelah terjadinya suatu kejadian. Jadi metode pensyari'atan pada masa ini memakai 2 cara:

  1. Adanya pensyariatan yang diwahyukan tanpa adanya pertanyaan dari sahabat ( tanpa sebab ).
  2. Pensyaria'atan yang didahului oleh pertanyaan para sahabat, karena kebutuhan mereka terhadap hokum.

Metode kedua ini kita dapati dalam Al-Qur'an dengan adanya ayat-ayat yang dimulai dengan kata Yasaluunaka dan Yastaftuunaka. Kata Yasaluunaka disebutkan 15 kali, 8 diantaranya mengandung makna fiqh dalam pembahasan yang bermacam-macam yang terdapat dalam: Al-Baqarah 215, 217, 219 diayat ini ada 2 pertanyaan, 220, 222, Al-Maidah ayat 4, Al-Anfal ayat 1. Dan kata Yastaftunaka disebutkan 2 kali dalam surat An-Nisa' ayat 127, 176.[4]

Pada periode ini Rasuluulah adalah tokoh utama yang menjadi panutan hukum para sahabat dalam memahami segala sesuatu, Rasulullah SAW menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah SWT dan menjelaskannya kepada mereka baik aspek ibadah, politik, akhlak dan sosial. Pada masa awal islam ini istilah fiqh dan ‘ilm mempunyai arti yang sama. Para Fuqaha dan Ulama pada masa ini dikenal dengan sebutan Qurra yaitu orang yang mampu membaca dan menghafal Al-Qur’an dan juga mengamalkan hukum-hukumnya.[5]

Ibnu Katsir dalam muqaddimahnya menyebutkan :

Ibnu Mas’ud r.a berkata: “ Kami jika menghafal dan mempelajari 10 ayat Al-Qur’an tidak akan berpindah ke ayat yang lain sampai benar-benar mengetahui maknanya dan mengamalkannya.[6]

Istilah Qurra juga umum dikenal dikalangan kaum muslimin, karena membaca adalah suatu hal yang tak umum di Arab pra Islam. Tujuh puluh orang yang diutus Rasulullah SAW kepada orang-orang yang baru memeluk Islam untuk mengajari pokok-pokok Islam dikenal sebagai Qurra.[7]

  1. Sumber Hukum Pada Masa Rasulullah SAW.

Sumber hukum pada masa Rasulullah adalah Wahyu Ilahi, baik yang ditilawahkan (Al-Qur’an) atau pun yang tidak ditilawahkan ( As-Sunnah ).

  1. Ijtihad Nabi Muhammad SAW.

Para Ulama berbeda pendapat tentang ijtihad Rasulullah pada permasalahan yang tidak diwahyukan oleh Allah SWT atau pun sesuatu yang tidak ada nashnya.

1. Sebagian Asy-‘Ariyah dan sebahagian besar Mu’tazilah berpendapat bahwasanya Rasulullah tidak boleh berijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya yang berhubungan dengan hukum-hukum amaliah tentang halal dan haram.

2. Ulama Hadits dan Ulama Ushul sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Yusuf dari golongan Hanafiah dan juga Asy-Syafi’i membolehkan ijtihad Nabi Muhammad pada sesuatu yang tidak ada nashnya.[8]

Adapun pendapat yang rajih menyatakan bahwasanya Rasulullah SAW boleh berijtihad dalam peperangan dan dalam menetapkan hukum syara’. Rasulullah adalah seorang yang ma’sum dari kesalahan karena jika ada kesalahan dalam ijtihadnya maka akan ada wahyu yang membantah dan membenarkannya.[9]

Adapun contoh ijtihad Nabi Muhammad SAW adalah:

  1. Tawanan Perang Badar.

Dalam masalah ini belum adanya nash tentang perlakuan terhadap tawanan, dan keadaan menuntut untuk memutuskan permasalahan ini dengan segera. Kemudian Rasulullah SAW bermusyawarah dengan sahabatnya sebagaimana firman Allah

و أمرهم شورى بينهم Kemudian Abu Bakar berpendapat:" menurut saya kita mengambil fidyah ( tebusan ) dari mereka, semoga nantinya mereka mendapatkan hidayah Allah untuk memeluk Islam". Kemudian Rasulullah bertanya kepada Umar, dan Umar berkata:" Saya tidak sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Abu Bakar, menurut saya, semua tawanan ini kita bunuh " Kemudian Rasulullah lebih cenderung memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turunlah firman Allah ( Al-Anfal 67, 68, 69 ) yang menyatakan tidaklah patut bagi seorang Rasul untuk tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuh-musuhnya.[10]

  1. Keizinan Bagi Sebagian Orang Munafik untuk tidak ikut Perang Tabuk

Pada perang Tabuk sebahagian orang munafik tidak mau ikut serta dalam perang tabuk, dan merekapun memberikan alasan-alasan yang palsu untuk mendapatkan keizinan Rasul, lalu Rasulullah memberikan izin kepada mereka untuk tidak ikut dalam perang tabuk. Allah menegur Rasulullah atas keizinan yang diberikan kepada mereka sebagaimana Firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 46.[11]

  1. Kisah Mujadilah Khawalah binti Tsa'labah.

Ketika Khawalah bertanya kepada Nabi Muhammad tentang suaminya, Aus bin Shamit yang telah menzhihar dirinya, Nabi Muhammad menjawab: "Kamu haram bagi suamimu yang telah zhirar kepadamu." Dengan demikian zhihar berarti sama dengan talak atau cerai. Kemudian Allah berfirman surat Al-Mujadilah ayat 1-4. Yang menyatakan bahwa zhihar tidak termasuk thalaq tetapi yang bersangkutan harus membayar kifarat.[12]

  1. Ijtihad Sahabat Pada Masa Rasulullah SAW.

Diantara sahabat yang melakukan ijtihad pad zaman Rasulullah SAW adalah mereka yang diutus menjadi qadhi diantaranya: 'Ali bin Abi Thalib yang diutus Rasulullah untuk menjadi qadhi di Yaman, Mu'adz bin Jabal yang diutus Rasulullah menjadi qadhi di Yaman, dan Khudzaifah al-Yamani yang diutus Nabi untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang saling mengakui dinding itu milik mereka, begitu juga dengan 'Amr bin Ash yang pada suatu hari Rasulullah berkata kepadanya : Putuskanlah hukum untuk masalah ini, kemudian dia berkata:"saya memutuskan hukum sedangkan engkau ada ya Rasulullah ? Nabi menjawab: "Ya".[13]

Diantara ijtihad sahabat pada masa Rasulullah SAW:

  1. Pada hari Ahzab Rasulullah berkata kepada para sahabat:"Janganlah salah seorang diantara kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah." Sebelum sampai ke Bani Quraizhah, waktu shalat ashar hampir habis. Sebagian sahabat berijtihad dengan melakukan shalat diperjalanan. Mereka melihat makna dari perkataan rasul yang menginginkan sahabat melakukan perjalan cepat ke Bani Quraizhah sebelum waktu ashar habis. Sebagian sahabat yang lain berpegang kepada lafadh hadits sehingga mereka shalat ashar di Bani Quraizhah pada waktu malam.[14]
  2. Dua orang sahabat Rasulullah Saw tidak mendapatkan air dalam perjalanan dan waktu shalat telah tiba, kemudian mereka bertayammum dan shalat, kemudian mereka mendapatkan air dan waktu shalat masih ada, seorang sahabat mengulangi kembali shalatnya dan yang seorang lagi tidak mengulangi lagi shalatnya. Kemudian setelah berjumpa dengan Rasulullah SAW mereka pun menceritakan kejadian ini dan Rasulullah membenarkan kedua perbuatan mereka.[15]
  1. Fiqh Pada Masa Khulafah Al-Rasyidin ( 11 – 40 H / 632 – 661 M ).

Periode al-Khulafah Al-Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, ijma' juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.[16] Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa inilah timbulnya penafsiran nash-nash yang diterima dari Rasul dan terbukalah pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nashnya,[17] khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.

Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.

  1. Kedudukan Fiqh Sahabat.

Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah pemikiran Islam. Hal ini disebabkan:

1. Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah SAW dan meninggal dunia sebagai orang Islam.[18] Dan dari mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim, dengan beragamnya periwayatan hadits yang bersumber dari mereka.[19]

2. Zaman sahabat adalah zaman berakhirnya masa tasyri'. Inilah dasar dari ilmu fiqh yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang merujuk pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri (ra'yu) jika tidak ada nash dengan tidak melewatkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.[20] Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka.

3. Ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.[21]

Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah.

  1. Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf Para Sahabat.
  1. Setelah Nabi wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum. Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum- hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah--menurut nash dari Nabi Muhammad SAW--yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena setelah Nabi Muhammad wafat masih terdapat para pewarisnya yang terjaga dari kesalahan (ma'shum). Kelompok ini kelak dikenal dengan kelompok Syi'ah. Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini kelak disebut Ahl al-Sunnah.[22]
  2. Adanya perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haidh dengan haidh lagi.[23]

Ibn Umar menafsirkan al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn 'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam.[24]

  1. Adanya perbedaan pengetahuan yang mereka miliki. Sebagian sahabat, misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubay bin Ka'ab. Kata Ubay : "Anda tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu. Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak ada."[25]
  2. Adanya perbedaan dalam periwayatan hadits dari Nabi Muhammad SAW. Ada sahabat yang mengetahui hadits tertentu dan ada yang tidak tau. Abu Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan. Kemudian pendapat ini didengar oleh 'Aisyah yang berpendapat sebaliknya. 'Aisyah menjadikan peristiwa dengan Nabi SAW sebagai alasan. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.[26]

C. Fiqh pada Masa Tabi'in hingga Lahirnya Mazhab Fiqh ( Bani Umayah, 661-750 M ).

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati-hatian, atau pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan 5374 hadits). Karena itu, para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin.[27]

Pada masa Bani Umayah kekuasaan politik sangatlah berpengaruh besar dalam perkembangan fiqh, terutama banyak sekali didapati manipulasi hadits yang menguntungkan pihak penguasa. Perlu kita garis bawahi, bahwa pada masa inilah munculnya berbagai aliran-aliran yang merupakan akibat dari ketidakpuasan terhadap penguasa. Sehingga keadaan fiqh pun ikut terpengaruh oleh suasana yang ada.

Mulai dari masa ini perkembangan fiqh sangat luar biasa dari pemahamannya yang dipakai untuk segala urusan agama mulai mengarah kepada satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Adapun faktor-faktor berkembangnya fiqh pada masa ini adalah:

1. Umat Islam mulai tahun jama'ah ini terpecah menjadi tiga partai besar: Khawarij, Syi'ah, Ahlu As-Sunnah wal Jama'ah.[28]

2. Meluasnya daerah kekuasaan Islam dan bercampurnya berbagai kebudayaan sehingga terjadinya interaksi baru, mulai adanya perjanjian-perjanjian dan hubungan dengan daerah kekuasaan lainnya, terbukanya wacana baru serta permasalahan-permasalahan baru yang membutuhkan ketetapan hukum.

3. Tersebarnya para fuqaha ke berbagai daerah kekuasaan islam.

4. Munculnya perdebatan-perdebatan antara para fuqaha.

5. Adanya pengaruh politik penguasa dalam fiqh.

6. Banyaknya Mawali (non Arab) yang mempelajari Islam dan terjadinya percampuran dengan penduduk asli sehingga masuklah unsur-unsur Parsi dan Romawi, dan Mawali juga sangat pandai dalam menggunakan akal dan falsafah.[29]

7. Perbedaan penggunaan Ra'yu, sehingga muncullah dua madrasah besar yaitu: madrasatul hadits dan madrasatul ra'yi. Dan inilah sebenarnya awal pembentukan mazhab.[30]

Pada masa tabi'in terdapat tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia Islam yaitu: Iraq, Hijaz dan Syiria.Iraq sendiri memiliki dua mazhab Bashrah dan Kufah. Begitu pula Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan hukum yaitu Mekkah dan Madinah. Mazhab Syiria kurang tercatat dalam buku-buku teks awal, meskipun demikian hukum dari mazhab ini dapat kita ketahui melalui tulisan Abu Yusuf.[31]

Setiap kota yang penting memiliki pemimpinnya sendiri yang menjadi panutan pendapat yang memberikan sumbangan pada perkembangan pemikiran hukum dipropinsi yang bersangkutan. Berikut ini nama-nama yang tercatat dari para ahli hukum di berbagai tempat:

Mekkah: 'Atha bin Abi Rabah (w. 114 H ), 'Amr bin Dinar ( w. 126 H )

Madinah: Sa'id bin al-Musayyib ( w. 94 H ), 'Urwah bin al-Zubayr, Abu Bakar bin 'Abdul Rahman, 'Ubaydillah bin 'Abdullah, Kharijah bin Zayd, Sulayman bin Yasar, Al-Qasim bin Muhammad. Mereka ini umumnya dikenal sebagai tujuh ahli hukum dari Madinah.

Bashrah: Muslim bin Yasar, Al-Hasan bin Yasar, Muhammad bin Sirin.

Kufah: 'Alqamah bin Qays, Masruq bin al-Ajda, Al-Aswad bin Yazid, Syurayh bin al-Harits. Mereka ini adalah para sahabat yang terkenal dari 'Abdullah bin Mas'ud.

Syiria: Qabisah bin Dzuwayb, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Makhul, Al-Awza'i.[32]

Az-Zarqa menyebutkan periode ini dengan periode keemasan: Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.

Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).

Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).

Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.

Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu.

Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.[33]

D. Masa Taqlid dan Jumud ( mulai tahun 310 H )

Periode ini adalah periode pergeseran orientasi. Kalau sebelumnya merujuk langsung kepad Al-Qur'an dan Sunnah, maka pada fase iniyang dirujuk adalah kitab-kitab fiqh yang disusun oleh imam yang dipandang lebih berkompeten. Untuk menjaga kesucian kitab-kitab fiqh disamping Al-Qur'an dan Sunnah ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yakni membangun mazhab yang dianutnya sehingga dapat berkembang. Terdapat dua cirri yang cukup dominan yang menjadi tanda kemundura fiqh islam, yaitu taklid dan tertutupnya ijtihad.[34]

Para fuqaha masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, dapat disebabkan adanya aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendali lagi, yang menyebabkan para fuqaha menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakalanya sudah malas berijtihad dan memang fahamnya sudah terpaku pada pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.[35]

  1. Sebab-sebab Taklid dan Jumudnya Para Ulama.
  1. Adanya pemaksaan penggunaan aliran atau mazhab tertentu oleh penguasa, seperti Khalifah al-Makmum, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq mamaksakan Mu’tazilah kepada para ulama.[36]
  2. Timbulnya pendapat para ulama yang memandang bahwa pendapat para imam mazhab sepadan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dapat diubah, digugat, atu diganti. Umpamanya, ‘Ubaid Al-lah al-Kharkhi, salah seorang ulama mazhab Hanafi pernah berkata:”Setiap ayat Al-Qur’an dan hadits yang bertentangan dengan mazhab hanafi dapat ditakwilkan atau di nasakh kan.” Imam Iyadh juga pernah berkata:”Bagi yang taklid, kedudukan pendapat imam mazhabnya dinilai sejajar dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”[37]
  3. Adanya penghargaan yang berlebihan terhadap guru, hal ini tercermin dalam anggapan bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan bermazhab dan diharamkan keluar dari mazhab yang dianutnya. Kedua, mengambil pendapat selain pendapat imam yang dianutnya adalah haram. Dan ketiga, guru yang terdahulu lebih mengetahui makna nash daripada kita.[38]
  4. Berkembangnya sikap berlebihan dalam memperlakukan kitab-kitab fiqh serta banyaknya kitab-kitab fiqh, dan tidak adanya kesesuaian antara perkembangan akal dan perkembangan pemahaman (fiqh).[39]

b. Tertutupnya Pintu Ijtihad

Anggapan yang menyatakan ijtihad tertutup muncul pada abad IV H. Didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibnu Jarir al-Thabari merupakan ulama mujtahid terakhir. Setelahnya, ulama mengikatkan dirinya pada aliran fiqh tertentu.[40]

Adapun diantara tertutupnya pintu ijtihad adalah:

  1. Munculnya hubud dunya dikalangan para ulama.
  2. Adanya perpecahan politik.
  3. Adanya perpecahan aliran fiqh.

Diantara ulama-ulama yang hidup pada masa ini adalah: Ibnu Hazm al-Zahiri, Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiah.

E. Periode Membangun Kembali Fiqh Islam ( Ba’da Jumud ).

Di pertengahan abad ke 18 M, timbullah reformasi dan melepaskan diri dari taqlid dalam tubuh umat Islam. Usaha ini tidaklah terjadi sekaligus, melainkan secara bertahap. Usaha ini timbul, setelah adanya kesadaran nasional. Kaum muslimin mengetahui dan merasakan adanya kemunduran yang kemudian menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan di berbagai negeri-negeri Islam.

Adapun gerakan-gerakan pembaruan dalam Islam :

1. Di Hijaz dalam abad ke 13 H / 18 M, timbul gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Di Libya, Muhammad bin Sanusi, yang juga pernah melawat ke Afrika dalam usahanya menyeru masyarakat untuk membersihkan agama dari usaha-usaha musuh Islam yang menyisipkan ajaran-ajaran yang menyesatkan dan mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Di Syria timbul usaha perbaikan yang bersendi agama yang dibangunkan oleh Al-Mahdi dan mengajak kembali kepada hukum Tuhan dan Rasul.

4. Di Mesir pada permualaan abad ke 20 M, akhir abad ke 19 M, bangunlah tokoh Jamaluddin al-Afghani. Ulama-ulama Mesir yang ingin memerdekakan diri dari para penjajahan mengadakan hubungan rapat dengan beliau itu. Diantar yang sangat rapat hubungan dengan beliau adalah Muhammad ‘Abduh yang mengadakan da’wah mengajak masyarakat kembali kepada mazhab Salaf dan kepada sumber-sumber yang asli. Beliau juga mengumumkan perang terhadap taqlid, menyatukan mazhab dan menjauhkan bid’ah dan kurafat. Al-Urwatul Wutsqa dan majalah al-Manar merupakan terompetnya yang mengumandangkan suaranya ke seluruh dunia Islam, sehingga lahirlah ulama-ulama merdeka disetiap negeri Islam yang harus dapat memenuhi kebutuhan masa dan sesuai dengan tabi’atnya yang elastis.[41]

Bangkitnya kembali fiqh Islam pada periode ini dapat kita lihat dengan fakta yang ada diantaranya:

  1. Sudah adanya pendidikan karang mengarang.
  2. Usaha menyusun hukum-hukum fiqh secara system undang-undang tanpa membatasi diri dengan sesuatu mazhab tertentu.
  3. Fiqh sudah dipelajari secara ilmiyah dilembaga-lembaga pendidikan resmi.
  4. Adanya fiqh muqaran antar mazhab

Beginilah keadaan fiqh setelah masa jumud sampai sekarang yang kita rasakan. Namun, saat ini pun kita merasakan bahwa fiqh seakan ilmu yang statis yang perkembangannya sangat lamban, dan untuk saat ini profil-profil para pembaru fiqh pendobrak taqlid sangatlah patut untuk ditiru guna bisa menghasilkan manuver-manuver baru bagi perkembangan fiqh yang sesuai antara akal dan pemahaman fiqh itu sendiri.

III. PENUTUP.

Dengan melihat periodisasi perkembangan fiqh dari masa Rasulullah sampai selanjutnya, kita melihat bahwasanya pelaksanaan hukum pada masa awal Islam tidaklah kaku sebagaimana kita lihat pada masa selanjutnya. Rasulullah dimasa hidupnya pun memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk berijtihad dan ini merupakan satu contoh yang Rasulullah berikan kepada umatNYA bahwasanya berijtihad itu bukanlah hal yang terlarang.

Mengutip apa yang disampaikan oleh pembimbing mata kuliah Ushul fiqh DR. Ali Yasa Abu Bakar, bahwasanya perbuatan yang dilakukan jika keluar dari pendapat mazhab tertentu, namun belum tentu keluar dari perbuatan sahabat. Imam syafi’i pernah berwasiat bahwasanya “jika nanti kalian mendapatkan dalil yang shahih yang bertentangan dengan mazhabku, maka ambillah ia karena itulah mazhabku.” Kemudian beliau juga mencela orang yang berta’assub kepada seorang pribadi ahli hukum, karena kebenaran yang mutlak itu sebenarnya hanya milik ALLAH dan RasulNYA.



* Pegiat pada Center for Islamic Law and Political Studies

[1] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, PT.Remaja Rosda Karya, Bandung 2000, cet II hal 12.

[2] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Pustaka Rizki Putra, Semarang 1997, cet I, hal 31.

[3] Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal Li Al-fiqh Al-Islami, Dar An-Nahdhah Al-Arabiyah, Cairo 1960, cet I, hal 70.

[4] Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Al-Fiqh Al-Islami, Ma’had Ad-Dirasah Al-Islamiyah, Cairo 1986, cet I, hal 25.

[5] Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Al-Fiqh Al-Islami.. hal 24.